Pelaksana Beserta Kades Pamekarsari Dinilai Tidak Transparan dan Diduga Memberikan Keterangan Bohong
GARUT, Haloindonesianews.com – Kepala Desa Pamekarsari Kecamatan Banyuresmi, Garut dan Pelaksana proyek pembangunan tembok penahan tanah (TPT) diduga memberikan keterangan bohong pada klarifikasi terkait konfirmasi pengaduan masyarakat (Dumas) warga Kampung Ngompod RT 002 RW 002.
Pengaduan masyarakat tersebut diterima redaksi melalui tim Haloindonesianews.com di Garut pada Kamis (6/5). Adapun pengaduan yang diterima terkait pelaksanaan pembangunan proyek TPT tersebut, diantaranya ;
Dugaan proyek dilaksanakan secara ditutup-tutupi (tidak transparan). Itu terbukti dengan ; Sebelum pelaksanaan tidak ada pemberitahuan kepada pengurus setempat (RW 002) ataupun tidak ada sosialisasi kepada masyarakat setempat (penerima manfaat).
Tidak terpasang pelang proyek, walaupun belakangan dipasang tapi plang proyek dipasang secara tidak layak (dipasang di kandang ayam milik warga dengan keterangan yang disamarkan dan alamat ditulis tidak sesuai dengan lokasi yang sebenarnya).
Selain itu, warga mengadu terkait tidak ada pemberdayaan masyarakat setempat pada pelaksanaan proyek tersebut. Padahal pemerintah menginstruksikan pelaksanaan proyek (infrastruktur) di desa untuk dilaksanakan secara padat karya (pemberdayaan masyarakat setempat) guna penguatan ekonomi masyarakat terkait situasi pandemi Covid-19 yang mana pada hal itu terjadi pelemahan ekonomi.
Pada konfirmasi hal pengaduan yang disampaikan oleh tim Haloindonesianews.com Kepala Desa Pamekarsari, Iman Sulaeman dan Pelaksana proyek memberikan klarifikasi di Jalan Ciateul Kecamatan Tarogong Kaler, Garut.
Klarifikasi yang disampaikannya kepada tim pada Jum’at (7/5) itu ternyata bertolak-belakang dengan kenyataan dilapangan sebagaimana yang disampaikan dalam pengaduan masyarakat warga Kampung Ngompod. Terkait klarifikasi Kades dan Pelaksana proyek sudah diberitakan sebelumnya.
Dikatakan oleh Hs (55) warga setempat, bahwa proyek tersebut berlokasi di Kampung Ngompod RT 002 RW 002 Desa Pamekarsari Kecamatan Banyuresmi. Tepatnya ditebing antara Kebun dan sawah milik warga. Pada awal pelaksanaan, pihak pemilik kebun sudah mengkonfirmasi pihak pelaksana bahwa pembangunan terlalu masuk ke bidang tanah miliknya.
Ia menambahkan, “selanjutnya untuk pemberdayaan masyarakat setempat pada pelaksanaan proyek tersebut sangat minim bahkan boleh dikata tidak ada. hanya melibatkan 4 orang warga saja, begitupun saat pembabatan (membersihkan) sekitar lokasi yang akan dibangun. Dan itu dilaksanakan jauh hari sebelum pelaksanaan atau sebelum masuk bulan puasa. Selesai pembabatan tidak ada lagi warga disini yang bekerja disana.
Tentang informasi atau pelaksanaan pekerjaan kami waga disini tidak tahu, jangankan warga, Ketua RT sama RW juga tidak diberitahu,” kata Hs kepada crew media di Garut, Minggu (9/5).
Baca juga :
Pelaksanaan Proyek Pembangunan TPT Pamekarsari Abaikan Pemberdayaan Warga Setempat
Saat ditanya harapannya, Hs menjawab, “harapan kami, warga disini dapat terlibat pada pengerjaan proyek tersebut. Saat ini aktifitas masyarakat dibatasi, lebih banyak diam dirumah sementara keluarga kami tetap harus makan, apalagi sekarang mau lebaran biaya menjadi lebih besar. Jadi kami ingin sedikit terbantu dengan adanya penghasilan walaupun hanya sebagai buruh diproyek itu,” Harapan Hs mewakili warga lainnya.
Sementara itu Solihin Afsor, salah seorang pegiat anti korupsi yang tergabung di GMPK DPD Kabupaten Garut memberikan tanggapannya.
Menerima pengaduan tersebut dari masyarakat warga Kampung Ngompod kami merasa prihatin. Disaat pandemi seperti ini kebijakan pemerintah difokuskan pada penguatan perlindungan dan pemulihan ekonomi masyarakat. Tapi implementasi kebijakan dari pihak pemerintah desa Pamekarsari sangatlah ironis. Tidak mampu menyerap tenaga kerja warga setempat pada pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang bersumber dari dana desa (DD),” ungkap Afsor.
Mengenai keterangan dari Kepala Desa dan Pelaksana proyek itu sama sekali tidak adanya. Kenyataannya sampai pada tahapan pengurugan ini tidak ada masyarakat disini yang dilibatkan walau hanya dikerjakan sebagai laden (tukang aduk atau buruh harian lepas dibagian lainnya). Pengerjaan pengurugan malah menggunakan Beko, sementara warga disini yang biasa diburuh bangunan itu ditelantarkan, sangat keterlaluan,” ucapnya.
Jangankan menghargai warga dan pengurus setempat, malah mereka menyebut kami sebagai Sireum Ateul (semut gatel), itu apa maksudnya?. kami menganggap itu sebagai sebuah pelecehan, sangat merendahkan martabat kemanusiaan yang mana kami ini sebagai masyarakatnya. Dikemanakan hati nurani orang ini. Kami sangat tersinggung dan merasa martabat kami sebagai masyarakat sudah direndahkan. Atas ujaran tersebut kami meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya dari mereka yang mengatakannya,” pungkasnya.
Penulis : Alam S
Editor : Janiarto
Discussion about this post